Membaca Kitab Al Hikam : Hikmah 9 – Amal, Ahwal, Warid

Seri tulisan berikut adalah rangkuman kitab Al-Hikam karya Ibnu Atha’illah As-Sakandari yang saya rangkum dari berbagai sumber. Sumber utama yang saya gunakan untuk membaca Al-Hikam berasal dari terjemah syarah Al-Hikam dalam bahasa Indonesia yang ditulis oleh Syekh Muhammad Said Ramadhan Al Buthi (Mizan, 2020), Syekh Abdullah asy-Syarqawi (Wali Pustaka, 2016), Syekh Ahmad Zarruq (Qalam, 2017) dan Zamzam A.J Tanuwijaya (qudusiyah.org).

Semoga Allah merahmati Ibnu Athat’illah, serta para tuan guru yang telah memudahkan saya untuk membaca dan memahami lebih jauh tentang kitab Al-Hikam ini. Semoga Allah memaafkan kekurangan ataupun kekhilafan saya saat mencoba memahami kitab ini.

. تَنَوَّعَتْ أَجْنَاسُ الْأَعْمَالِ لَتَنَوُّعِ وَارِدَاتِ الْأَحْوَالِ

Jenis amal ibadah itu beragam disebabkan keberagaman kondisi (kejiwaan dan sosial) yang melingkupi

Beragamnya jenis perilaku (amal) ibadah seorang makhluk, itu disebabkan oleh beragamnya waridati al-ahwal.

Actions differ because the inspirations of the states of being differ.

Pada hikmah kesembilan dari kitab Al-Hikam ini, Ibnu Athaillah menyebutkan tiga istilah penting: Amal, ahwal dan warid.

Pertama, Amal dimaknai disini sebagai perilaku, misi hidup atau jati diri seseorang.

Kedua, ahwal. Ahwal merupakan bentuk jamak dari hal. Hal sendiri berarti keadaan hati. Hal adalah kondisi atau perasaan yang dialami oleh manusia, kemudian kondisi atau perasaan itu kemudian berlalu.

Ketiga, warid adalah istilah dalam ilmu suluk. Maknanya, karunia Allah yang turun melalui proses tertentu kepada seorang hamba-Nya. Proses turunnya warid terkait dengan kesiapan qalb , dalam hal ini adalah kadar ahwal si hamba.

Beberapa alim ulama mencontohkan amal, ahwal dan warid ini dengan Q.S Fushilat ayat 35.

وَمَا يُلَقّٰىهَآ اِلَّا الَّذِيْنَ صَبَرُوْاۚ وَمَا يُلَقّٰىهَآ اِلَّا ذُوْ حَظٍّ عَظِيْمٍ – ٣٥

Dan (sifat-sifat yang baik itu/al-hasanah) tidak akan dianugerahkan kecuali kepada orang-orang yang sabar dan tidak dianugerahkan kecuali kepada orang-orang yang mempunyai keberuntungan yang besar.

Dalam ayat ini, sabar (صَبَرُوْ) adalah ahwal seorang hamba. Sementara al-hasanah (sifat-sifat yang baik) yang dianugerahkan Allah merupakan warid yang Allah karuniakan.

Pada hikmah ini, Ibnu Athaillah menyatakan amal ibadah yang dilakukan manusia itu beragam jenisnya. Mengapa amal ibadah ini beragam? Amal itu akan bermacam-macam dan berbeda-beda tergantung keadaan batin atau pribadi orang tersebut (waridatul ahwal)  Amal adalah buah dari apa yang ada dalam hati.

Perlu ditegaskan disini, bahwa perilaku amal atau ibadah yang dimaksud Ibnu Athaillah di hikmah ini adalah perilaku amal atau ibadah yang diluar rukun islam yang diwajibkan atau yang standar; seperti shalat, puasa, haji, zakat dan dua kalimat syahadat. Jadi sebuah perilaku amal atau ibadah yang dimaksud disini merupakan sikap dari keagamaan seseorang.

Menurut para ulama, ahwal ini terbagi menjadi dua:
Pertama, kondisi jiwa manusia sebagai pribadi dengan Allah ta’ala (halah nafsiyah).
Kedua, kondisi sosial manusia dengan sesama manusia lain (halah ijtimaiyah).

Kondisi jiwa manusia sebagai pribadi dengan Allah ta’ala (halah nafsiyah)

Tentang kondisi jiwa ini kita ambil contoh sederhana:

Andai punya dua orang teman bernama si A dan si B. Dua orang teman kita lihat sudah jago sekali dalam menjalankan ibadah-ibadah wajib, seperti shalat lima waktu, puasa dan zakat. Nah, tetapi ternyata A dan B ini berbeda dalam perilaku atau sikap keagamaannya yang lain.

Si A, contohnya, adalah orang yang shalat sunnah dan dzikirnya biasa-biasa saja, akan tetapi dermawannya luar biasa. Sementara si B ini tidak terlalu banyak berderma atau memberi sedekah, akan tetapi ia sangat luar biasa dalam shalat sunnah dan dzikirnya; si B ini selalu menangis dalam berdoa dan bahkan sangat hati-hati sekali agar tidak melakukan kemaksiatan.

Para ulama menegaskan bahwa si A dan si B ini ialah kekasih Allah, karena ibadah-ibadah wajibnya dilaksanakan dengan baik. Akan tetapi, saat si A dan si B ini ingin naik pangkatnya dalam mendekati Allah, ada semacam perbedaan amalan serta perilaku. Perbedaan perilaku antara si A dan si B ini disebabkan karena adanya perbedaan antara si A dan si B dalam memperhatikan dan merenungi sifat-sifat Allah.

Mari kita melihat kondisi si A.  Perenungan si A ini didominasi pada sifat-sifat Allah yang Maha Kasih Sayang, Maha Dermawan, Maha Baik, dan juga Maha Pengampun. Lalu, si A merefleksikan sikap-sikap keagamaannya dengan sikap yang memiliki landasan kuat berupa prasangka baik kepada Allah. Ketika si A memberi peringatan kepada manusia, maka ia mengingatkan banyaknya anugerah-Nya, banyaknya pemberian-Nya, banyaknya nikmat-Nya, serta banyaknya ampunan-Nya.

Lain hal si B, dimana perenungannya didominasi pada sifat-sifat Allah yang Mahaperkasa, yang memiliki kekuasaan yang luas serta balasan yang diancamkan pada orang-orang yang melampaui batas dan zalim. Si B akan merefleksikan sikap keagamaannya dengan sikap yang dilandaskan rasa kurang dari kesempurnaan. Apalagi jika si B ini memiliki masa lalu yang buruk, dimana ia pernah tenggelam dalam kemaksiatan.

Oleh karena itu, penting sekali kita mengenali asmaul husna untuk kita pahami. Untuk apa? Karena dari asmaul husna itu ada hal-hal yang perlu kita tiru. Seperti halnya, jika kita mengenal Allah Maha Pengasih, maka jadilah kita sebagai orang yang mengasihi. Meskipun, kasih sayang Allah berbeda dengan kasih sayang manusia yang berbatas. Kalau kita mengenali Allah sebagai Maha Kaya, maka kita tidak akan takut kehilangan harta kita. Kalau kita mengenali Allah sebagai Maha Menepati Janji, maka kita tidak akan takut berbuat baik.

Nah dari pengenalan kita terhadap asmaul husna yang berbeda-beda itulah yang membuat macam-macam amal manusia berbeda.

Buya Yahya pada saat menjelaskan hikmah ini, bercerita tentang curhatan seorang perempuan yang melihat suaminya yang kurang sekali ibadah tahajudnya.

“Buya, suami saya itu lho. Jarang tahajud.”

“Lha bu. Tahajud itu kan sunnah.”

“Iya Buya. Tapi kan saya pengennya suami saya tahajud terus”

“Suami Ibu itu bagaimana ibadah-ibadah wajibnya?”

“Suami saya luar biasa sekali ibadah wajibnya. Puasa Ramadhan nya jalan. Apalagi sedekah dan zakatnya, pokoknya luar biasa. Sangat dermawan”

“Suami ibu sering mukulin Ibu tidak? Suami Ibu ngasih nafkah terus atau tidak”

“Pokoknya suami saya baik sekali kepada saya. Nafkahnya selalu jalan, dan tidak pernah memukuli saya. Tapi tahajud nya itu yang susah.”

“Bu. Suaminya ibu itu dengan bersedekah juga adalah sebuah kebaikan. Ya bisa saja, suami ibu dibiasakan menjadi ahli tahajud. Tapi Ibu tidak boleh menilai kebaikan suami ibu dari satu sisi saja (tidak mengerjakan tahajud). Sudah bu, suaminya tak usah dimarah-marahi karena jarang tahajud. Insya Allah suaminya ibu baik”

********************************************

Kondisi sosial manusia dengan sesama manusia lain (halah ijtimaiyah)

Lalu, marilah kita masuk ke penjelasan kondisi sosial manusia dengan sesama manusia lain (halah ijtimaiyah). Selepas seorang manusia telah selesai melakukan amalan wajibnya, maka ada amalan-amalan lain yang harus ia laksanakan.

Jikalau seorang pemuda yang belum menikah, maka ia tidak mempunyai tanggung jawab selain atas dirinya sendiri. Baginya, amal ibadah untuk mendekatkan diri kepada Allah (setelah selesai melaksanakan yang wajib) adalah memfokuskan diri memperbanyak ibadah, mendengarkan Al Qur’an, mengikuti majelis taklim dan lain sebagainya. Hal ini terlepas dari urusan-urusan duniawi yang sedang dia geluti untuk masa depannya, seperti melanjutkan pendidikan dan mengembangkan keterampilan hidup untuk dirinya sendiri.

Jika seorang pemuda itu sudah menikah dan sudah memiliki keluarga, maka dia telah mempunyai tanggung jawab ganda. Dia harus bertanggungjawab terhadap diri dan keluarganya. Berdasar inilah, dia harus melakukan perubahan besar terhadap amal ibadah dan ketaatan yang akan mendekatkan dirinya kepada Allah.

Dia harus tahu bahwa bekerja kerja memenuhi kebutuhan keluarganya dan menjaga mereka dari meminta-minta adalah bagian yang penting untuk mendekatkan dirinya pada Allah.

Dia harus tahu bahwa duduk dan berkumpul bersama keluarga untuk memberi perhatian dan kasih sayang saat setelah kembali dari pekerjaan adalah bagian yang penting untuk mendekatkan dirinya kepada Allah.

Dia harus tahu bahwa bekerja halal untuk memenuhi kebutuhan duniawi keluarga merupakan bagian yang penting untuk mendekatkan dirinya kepada Allah.

Dia harus tahu bahwa serius dalam mendidik anak-anak dan membimbing mereka dalam jalan mendapatkan hidayah dan kebaikan dunia akhirat adalah bagian penting untuk mendekatkan dirinya kepada Allah.

Contoh lagi ialah orang yang bekerja di kantor atau bekerja untuk orang lain. Seharusnya dia tahu bahwa pekerjaan yang dilakukannya itu termasuk amalan yang mendekatkan diri kepada Allah. Hal ini tentu setelah ia mengerjakan ibadah-ibadah wajib dan ibadah-ibadah pokok lainnya. Amal ibadahnya ialah berupa menekuni pekerjaan yang baik dan sesuai dengan yang tertuang dalam perjanjian kerja dan amanah yang didelegasikan kepadanya oleh pemilik kerja.

Oleh karena itu jika kita menjadi pegawai atau karyawan, ingatlah bahwa jam kerja yang tertuang dalam perjanjian kerja yang disepakati bersama pemilik usaha harus digunakan seluruhnya untuk bekerja. Setelah kita meluangkan waktu kita beberapa menit untuk melaksanakan shalat wajib dan ibadah pendahuluannya seperti bersuci dan berwudhu, kita harus kembali melaksanakan pekerjaan kita.

Janganlah misalkan kita tiba-tiba melaksanakan shalat sunnah, membaca Al-Quran atau belajar ilmu agama saat jam kerja. Sebab kewajiban kita sebagai pegawai saat jam kerja adalah memenuhi apa yang menjadi hak pemberi kerja.

Syekh Al-Buthi kemudian bercerita bahwa beliau melihat banyak pegawai di pemerintahan yang ketika masuk waktu shalat menjadikan pelaksanaan shalat sebagai alasan untuk sibuk dan bermalas-malasan. Mereka terkadang memperlama waktu shalat dan persiapannya tanpa alasan yang dibenarkan. Kemudian mereka berbincang-bincang santai, dan bahkan ada yang kemudian sengaja memperlama ibadah mereka dengan membaca buku agama atau bahkan tilawah sampai dua juz agar tidak segera kembali ke tempat kerja.

Syekh Al-Buthi melarang hal ini. Ibadah sunnah yang dilakukan seperti di waktu kerja seperti ini bukan yang memberi pahala, malah celaka. Karena waktu-waktu yang dikerjakan untuk melaksanakan ibadah sunnah itu seharusnya menjadi hak pemilik usaha.

Ada lagi kemudian, orang-orang yang melaksanakan pekerjaan yang ditugaskan kepadanya dengan cara sembrono dan tidak berkualitas. Boleh jadi dia meremehkan dan tidak sabar terhadap pekerjaannya. Atau mungkin karena dia menyimpan rasa iri dan dengki terhadap pemilik usaha atau pemberi kerja, sehingga dia melakukan pekerjaannya dengan setengah-setengah. Syekh Al-Buthi mengingatkan bahwa dalam ukuran syariah, sikap yang meremehkan pekerjaan seperti ini tidak lebih ringan dibanding dengan sikap meremehkan shalatnya dengan mengurangi sebagaian dari rukun atau kewajiban atau melaksanakannya dengan tergesa-gesa supaya segera terbebas darinya.

Pegawai yang duduk di meja administrasi juga harus mengetahui bahwa yang dilakukannya adalah ibadah kepada Allah. Setelah dia mengerjakan ibadah-ibadah pokok, ibadahnya kemudian adalah melaksanakan pekerjaannya seprofesional mungkin. Syekh Al Buthi mengatakan bahwa pahala yang diterima untuknya tidak kurang dari pahala ibadah dan pendekatan diri kepada Allah yang dilakukan oleh seorang hamba yang mempunyai waktu luang untuk melaksanakan ibadah-ibadah seperti berdzikir dan membaca Al Qur’an. Syaratnya: dia harus meniatkan diri agar dengan pekerjaan itu ia bisa mendapatkan ridha Allah.

Pemimpin dengan tanggung jawab politik dengan berbagai tingkatan dan tanggung jawab yang beragam juga harus paham bahwa dia sedang beribadah kepada Allah dengan pekerjaannya. Setelah dia mengerjakan ibadah-ibadah pokok, maka ibadahnya dia berikutnya adalah mengabdi dan menjamin hak-hak rakyat, seperti hak keamanan, hak kesejahteraan, hak ketenangan, dan hak sebagainya. Syekh Al Buthi mengatakan bahwa saat pemimpin politik dan stafnya begadang untuk mengurusi urusan rakyat dan pemenuhan hak-hak mereka, urusan ini bukanlah ibadah yang kurang penting dibandingkan dengan ibadahnya ahli ibadah yang mendekatkan diri dengan shalat-shalat qiyamul lail, berdzikir dan berdoa. Tentunya orang-orang yang bertanggungjawab dalam mengurusi urusan rakyat ini harus memperhatikan niat agar mendapatkan ridha Allah.

Orang-orang yang bekerja dengan ilmu pengetahuan seperti ilmuwan, dosen, guru, dokter, mahasiswa, siswa dan lain sebagainya juga harus paham bahwa pekerjaannya dalam mengajar dan belajar adalah ibadah. Syekh Al-Buthi menekankan, orang-orang ini sudah seharusnya tekun mengkaji ilmu-ilmu dalam bidangnya lalu bersemangat untuk mengajarkan dan menyebarkan manfaatnya kepada masyarakat. Ingatlah bahwa pengetahuan adalah rahmat Allah swt. Dengan pengetahuan, manusia bisa memenuhi kebutuhan hdup dan menghindarkan diri dari marabahaya.

Kesimpulan

Apa yang sekiranya dapat kita simpulkan dari memahami hikmah ini?

  1. Kenali keragaman yang diberikan Allah kepada kita. Beribadah dan bersikaplah sesuai keragaman kita. Jangan menggunakan standar orang lain untuk beribadah, karena belum tentu ibadah orang lain itu sesuai dengan keragaman kita.
  2. Janganlah berprasangka buruk dalam menilai seseorang bahwa dia hanya mampu menjalankan salah satu amalan lahiriyah tertentu. Bisa saja kita mendorong orang tersebut untuk melaksanakan ibadah-ibadah lain, akan tetapi kita perlu menekankan bahwa ibadah yang dilakukan untuk dasarnya adalah kecintaan dan pengharapan ridha Allah. Berdoalah bahwa Allah swt agar segera memberi kekuatan pada mereka untuk melengkapi segala kekurangant.
  3. Perlunya kita mengetahui bahwa setiap tugas-tugas kita di muka bumi, juga besar pengaruh dan manfaatnya di sisi Allah, jika pekerjaan itu halal dan dikerjakan dengan ikhlas dan benar.

Berikan Komentar Anda